Makalah ad-Darimi



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Salah satu Ulama Hadis yang sangat terkenal bahkan karyanya banyak mendapat pujian dari kalangan ulama semasanya adalah ‘Abdullah bin ‘Abdurrahmân ad-Dârimî, yang menjadi rujukan oleh Dr. Arent Jan (A.J.) Wensinck dan merupakan bahagian dari kandungan kitabnya al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-Hadis an-Nabawi adalah kitab Sunanad-Darimi ini, oleh sebahagian ulama dimasukkan ke dalam kelompok “kitab-kitab hadis standard yang enam“ (al-Kutub as-Sittah).
Dalam perjalan sejarah dan perkembangan kitab-kitab hadis, ternyata kitab Sunan ad-Darimi ini kurang dikenal di kalangan umat islam, Hal ini boleh jadi keterbatasan para ulama terdahulu dalam membahas dan memberikan komentar atau syarah terhadap kitab ini. Dalam makalah ini penulis mencoba mengkaji dan mempelajari tentang biografi, metode penulisan dan lain-lain yang berhubungan dengan ulama hadis yang lebih dikenal dengan ad-Dârimî ini.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Biografi Imam al-Darimi?
2.      Bagaimana Metode Penulisan Kitab Sunan al-Darimi?
3.      Bagaimana Komentar Ulama terhadap Kitab Sunan al-Darimi?
4.      Apa Saja Karya dari  Imam al-Darimi?
C.    Tujuan Masalah
1.      Menjelaskan Bagaimana Biografi Imam al-Darimi.
2.      Menjelaskan Bagaimana Metode Penulisan Kitab Sunan al-Darimi.
3.      Menjelaskan Bagaimana Komentar Ulama terhadap Kitab Sunan al-Darimi.
4.      Menjelaskan Apa Saja Karya dari Imam al-Darimi.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Biografi  Imam al-Darimi
Imam al-Darimi memiliki nama lengkap ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman bin Fadl bin Bahram bin ‘Abdul Shamad al-Darimi al-Tamimi. Adapun nama kunyahnya Abu Muhammad al-Samarqandi al-Hafidz. Dengan demikian terdapat tiga nasab yang terdapat pada al-Darimi, yakni al-Darimi, al-Tamimi dam al-Samarqandi. Al-Darimi merupakan penisbatan terhadap Darimi bin Malik yang berasal dari bani Tamim dan kemudian penisbatan ini menjadi nama popular bagi imam al-Darimi, sedangkan al-Tamimi adalah penisbatan pada satu kabilah yang telah membebaskannya. Adapun nama al-Samarqandi adalah tempat dimana al-Darimi bermukim dalam pengembaraan keilmuannya sehingga tempat ini disebutkan sebagai tempat yang tidak pernah sepi dari para pencinta dan penyebar ilmu.
Terkait dengan kelahiran al-Darimi, Ishaq bin Ibrahim al-Warraq mengatakan sesuai dengan pengakuannya bahwa ia mendengar al-Darimi mengatakan bahwa dilahirkan bertepatan dengan tahun wafat Ibnu al- Mubaraq yaitu pada tahun 181 H (797 M). Sementara mengenai tahun wafatnya, terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ulama. Ahmad bin Sayyar al-Marwazimisalnya, menurut al-Marwazi, al-Darimi meninggal setelah waktu ashar pada tahun 255 H (869 M) bertepatandengan hari tarwiyah yang kemudian dikebumikan pada hari Jumat yang bertepatan dengan hari ‘Arafah. Pendapat ini kemudian didukung oleh Makki bin Muhammad bin Ahamd bin Mahan al-Balkhi dan Ibnu Hibban.[1]
Pendapat lain dikemukakan oleh Muhammad bin Ibrahim bin Manshur al-Syirazidan ‘Abdullah bin Walid al-Samarqandi. Menurut al-Syirazi, tahun wafat al-Darimi adalah tahun 250 H sementara menurut al-samarqandi adalah tahun 250 H.[2]
Sebagaimana umumnya para ulama dalam menuntut ilmu yang tidak hanya berhenti pada satu tempat, begitu pula al-Darimi. Dalam rihlah intelektualnya, beliau merasa tidak puas dengan ilmu yang telah di perolehnya dari para ulama yang bermukim di Samarqan, sehingga ia melakukan perjalanan menuju kota-kota di seluruh negeri Islam. Setelah meninggalkan Samarqand, al-Darimi melakukan perjalanan menuju Khurasan dan belajar hadis kepada para ulamanya. Bahkan tidak berhenti sampai di Khurasan melainkan melanjutkan perjalanannya menuju Iraq dengan tujuan  yang sama yaitu untuk menimba ilmu dari para ulama yang ada di kota tersebut. Selain Khurasan dan Iraq, al-Darimi juga mengunjungi Kufah, Wasit, Bashrah, Syam, Hims, Suwar, Hijjaz, Mekkah dan Medinah. Setelah melakukan rihlah intelektual  yang panjang tersebut, al-Darimi kembali ke Samarqand yang notabenenya adalah kota kelahirannya untuk menyebarkan ilmu yang telah diperolehnya.
Dengan melihat perjalanan panjang yang dilakukan oleh al-Darimi dalam mempelajari berbagai macam disiplin ilmu terutama dalam bidang hadis ini, tentu tidak mengherankan jika al-Darimi memiliki ratusan guru yang menjadi sumber periwayatannya dalam menghimpun hadis-hadis rasul. Dari sekian banyak guru beliau, antara lain adalah sebagai berikut: Yazid bun Haru, Ya’la bin ‘Ubaid, Ja’far bin ‘Aun, Basyr bin ‘Umar al-Zahrani, ‘Ubaidillah bin ‘Abdul Hamid bin al-Hanafi, Hasyim bin al-Qasim, ‘Uthman bin ‘Umar Bin Faris, Sa’idbn ‘Amir al-Duba’i,  Abu Ashim, ‘Ubaidillah bin Musa, Abu al-Mughirah al-Khaulani, Abu al-Mushir  al-Ghassani, Muhammad bun Yusuf al-Firyabi, Abu Nu’aim, Khalifah bin Khayyat, Ahmad bin Hanbal, Yahya Bin Ma’indan ‘Ali bin al-Madini.[3]
Kepakaran al-Darimi dalam bidang hadis ini nampaknya juga memiliki pengaruh yang luar biasa terhadap para ulama, sehingga beliau memiliki sekian banyak murid yang menerima hadis darinya, antara lain adalah: Imam Muslim bin Hajjaj, Imam Abu Dawud, Imam Abu ‘ Isa al-Tirmdhzi, ‘AbdHumaid, Raja bin Murji, al-Hassan bin al-Sahabbah al- Bazzar, Muhammad bin Basyar, Muhammad bin Yahya, Baqi bin Makhlad, Abu Zu’rahm, Abu Hatim, Shalih bin Muhammad Jazzarah, Ja’far al-Firyabidan Muhammad bin al-Nadr al-Jarudi. [4]
B.     Metode penulisan kitab Sunan al-Darimi
Di antara karya yang terkenal dari al-Darimi adalah kitab hadits yang ia beri judul dengan Al-Hadits al-Musnad al-Marfu’ wal Mauquf wal Maqtu’. Akan tetapi dalam penerbitannya, judul kitab hadits tersebut diubah menjadi “Sunan Ad-Darimi”. Dari segi penyusunannya, kitab Musnad al-Darimi lebih tepat disebut mushannaf, bukan musnad. Sementara itu sebagian ulama menyebutkan kitab al-Shahih, kitab Musnad ini tidak lebih rendah derajatnya dibandingkan dengan kitab Sunan, bahkan sebagian ulama berpendapat bahwa kitab ini dapat dijadikan sebagai salah satu kitab induk hadis yang menggantikan Sunan Ibnu Majah.[5]
Karya al-Darimi dikalangan muhadditsin sering kali disebut sebagai kitab musnad, namun tampaknya lebih populer dengan penyebutan al-Sunan. Bahkan menurut al-Suyuti, penyebutan as-Sunan lebih tepat dikarenakan kitab tersebut tersusun dalam bentuk bab bukan berdasarkan pada nama-nama sahabat sebagaimana umumnya dalam kitab-kitab musnad. Dalam hal ini, penamaan karya al-Darimi sebagai kitab al-Musnad bisa saja dalam artian bahasa bukan dalam artian terminologi muhaddis, sehingga ia disebut sebagai kitab al-Musnad karena di dalamnya dihimpun hadis-haidis dengan rentetan sanad secara lengkap.[6]
Sebagaimana kitab-kitab sunan lainnya, dalam Sunan al-Darimi pun masih dijumpai hadis “mursal” dan “mauquf”, sekalipun jumlahnya tidak banyak. Yang tidak bisa dikesampingkan adalah sikap al-Darimi yang sangat memperhatikan keadaan para perawi disetiap sanad hadis yang ditemukannya. Karena itulah, di dalam kitabnya, masing-masing perawi dibahas secara tuntas.[7]
Sebagai kitab Sunan, karya al-Darimi ini jelas tersusun dalam bentuk kitab yang terbagi ke dalam beberapa bab tertentu. Secara keseluruhan, sunan al-Darimi terdiri dari 24 kitab dan 2686 bab, sedangkan jumlah hadis yang terhimpun di dalam kitab Sunan ini terdiri dari 3498 hadis. Adapun bab-bab hadis tersebut adalah:
1) Muqaddimah. 2)Kitab al-Shalat (1) 3) Kitab al-Shalat (2) 4) Kitab al-Zakat. 5) Kitab al-Shaum. 6) Kitab sl-Manasik. 7) Kitab al-Adahi. 8) Kitab al-Shayd. 9) Kitab al-At’imah. 10) Kitab al-Asyribah. 11) Kitab al-Ru’ya. 12) Kitab an-Nikah. 13) Kitab al-Thalaq. 14) Kitab al-Hudud. 15) Kitab al-Nudhur wa al-Aiman. 16) Kitab al- Diyat. 17) Kitab al-Jihad. 18) Kitab al-Sayr. 19)Kitab al-Buyu’. 20) Kitab al-Isti’dhan. 21) Kitab al-Raqiq. 22) Kitab al-Faraid. 23) Kitab al-Washaya. 24) Kitab Fadail al-Quran.[8]
Adapun status Hadis di dalam Sunan ad-Dârimî adalah bermacam-macam, yaitu:
1.      Hadis Shahîh yang disepakati oleh Imam Bukhari Muslim
2.      Hadis Shahîh yang disepakati oleh salah satu keduanya
3.      Hadis Shahîh di atas syarat keduanya
4.      Hadis Shahîh di atas syarat salah satu keduanya
5.       Hadis Hasan
6.      Hadis Sadz-dzah
7.      Hadis Mungkar, akan tetapi itu hanya sedikit
8.      Hadis Mursal dan Mauquf, akan tetapi ada thuruq lain yang menguatkannya. [9] 
C.    Komentar Ulama terhadap Sunan al-Darimi
Sejumlah peneliti terhadap kitab Sunan al-Darimi ini menunjukkan satu kesimpulan bahwa belum ditemukan ulama yang secar spesifik melakukan kritik terhadap kitab sunan ini, hal ini tampaknya cukup beralasan karena memang disatu sisi, literatur yang membincang tentang hadis para muhaddistnya yang ditulis oleh patra ulama sangat sedikit memperbincangkan kitab sunan ad-Darimi bak dalam bentuk komentar (syarh) ataupun dalam bentuk lainnya. Hal ini tentu sangat berbeda dengan popularitas kitab hadis yang lainnya semisal karya al-Bukhari, Muslim ataupun sunan abu-Dawud yang memiliki sekian syarh dan sekian ikhtisar.
Hal lain yang menjadi kekurangan dari kitab ini adalah tidak disebutkannya secara eksplisit mengenai persyaratan yang ditetapkan oleh al-Darimi dalam menyaring hadis-hadis nabi yang kemudian dimasukkannya dalam ke dalam karyan agungnya ini. Ini pulalah yang menyebabkan sunan ad-Darimi ke dalam jajaran kutub ushul al-Sittah.
Menurut ‘Abdullah bin ‘Abdullah, al-Hafizd al-‘Illa’ilah datu-satunya ulama yang berpendapat bahwa kitab al-Darimi segarusnya dimasukkan sebagai kitab keenam setelah al-Kutub al-khamsah menggantikan kitab Ibnu Majah. Dalam pandangan al-‘Ila’i disebabkan oleh ketelitian dan kepakaran al-Darimi sehingga dalam karya tersebut sangat sedikit ditemukan perawi yang dha’if, selain itu, dalam kitab tersebut juga sangat jarang ditemukan hadis munkar dan syadz walaupun dalamnya terdapat hadis mursal bahkan mauquf.
Pandangan al-‘Ila’ di satu sisi dapat dipahami mengingat kepakaran al-Darimi dalam bidang hadis termasuk mengenai para rijal al-Hadis diakui oleh banyak ulama, sehingga dengan demikian, asumsi yang terbangun adalah penerimaan ad-Darimi terhadap riwayat-riwayat yang sampai kepadanya tentulah dilakukan secara selektif. Namun demikian, untuk menolak ataupun membenarkan pandangan al-‘Illa’ untuk menempatkan sunan al-Darimi dalam jajaran kutub al-Sittah menggantikan posisi sunan Ibnu Majah dengan alasan tersebut membutuhkan penelitian tersendiri secara komparatif baik terhadap kitab Sunan Ibnu Majah maupun Sunan al-Darimi.[10]
Berikut ada komentar beberapa ulama tentang kelebihan yang dimiliki al-Darimi:
1.      Muhammad bin Abdillah bin Mubarak berkata, “Wahai penduduk Khurasan, selama al-Darimi di tengah-tengah kalian, janganlah mencari ilmu kepada orang lain.
2.      Ishaq mengisahkan, “Aku mendengar Ustman bin Abi Syaibah berujar, ‘Abdullah binAbdirrahman lebih tinggi dari apa yang dikatakan. Ia banyak menghafal hadis dari orang-orang yang memelihara diri.
3.      Bandar mengucapkan, “para penghafal hadis di dunia adalah Abu Zur’ah, al-Bukhari, Muslim, dan al-Darimi”.
4.      Al-Nawawi  bertutur, “Al-Darimi adalah salah seorang penghafal hadis yang menjadi kebanggaan umat Islam pada masanya dan sulit dicari tandinggannya”.
5.      Abu Hatim bin Hibban menyatakan, “Ia tergolong hafiz yang teguh, wara’ dalam agama, penghafal, penghimpun, ahli fiqh, penulis, ahli hadis, serta menerapkan sunnah dan mengajak orang lain melakukan hal yang sama.[11]
D.    Karya-Karya Imam al-Darimi
Bidang ilmu yang al-Darimi tekuni tidak hanya terbatas dalam ilmu hadis, namun beliau juga menekuni bidang fiqh sehingga menguasai beberapa pandangan para ulama fiqih dalam merumuskan sebuah hukum, begitu juga dalam bidang tafsir, al-Darimi menguasai Ma’ani al-Qur’an sehingga tidak berlebihan ketika Muhammad bin Ibrahim bin Manshur al-Syairazi berkomentar bahwa al-Darimi adalah seorang mufassir yang perfect.
Untuk membenarkan pengakuan para ulama terhadap kapasitas intelektual al-Darimi sebenarnya juga dapat dibuktikan berdasarkan karya tulis yang beliau hasilkan yang tidak hanya terbatas pada bidang hadis, namun beliau juga memiliki sejumlah karya dalam bidang yang lain, diantaranya:
1.      Kita al-Musnad atau yang lebih dikenal dengan al-Sunan al-Darimi.
2.      Kitab al-Thulathiyat.
3.      Kitab al-Musthadah wa al-Muthayyirah, al-Jami’ al-Shaih.
4.      Kitab Tafsir.[12]
















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Imam al-Darimi memiliki nama lengkap ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman bin Fadl bin Bahram bin ‘Abdul Shamad al-Darimi al-Tamimi. Adapun nama kunyahnya Abu Muhammad al-Samarqandi al-Hafidz. Di antara karya yang terkenal dari al-Darimi adalah kitab hadits yang ia beri judul dengan Al-Hadits al-Musnad al-Marfu’ wal Mauquf wal Maqtu’. Akan tetapi dalam penerbitannya, judul kitab hadits tersebut diubah menjadi “Sunan Ad-Darimi”. Dari segi penyusunannya, kitab Musnad al-Darimi lebih tepat disebut mushannaf, bukan musnad. Sementara itu sebagian ulama menyebutkan kitab al-Shahih, kitab Musnad ini tidak lebih rendah derajatnya dibandingkan dengan kitab Sunan, bahkan sebagian ulama berpendapat bahwa kitab ini dapat dijadikan sebagai salah satu kitab induk hadis yang menggantikan Sunan Ibnu Majah.
Sejumlah peneliti terhadap kitab Sunan al-Darimi ini menunjukkan satu kesimpulan bahwa belum ditemukan ulama yang secar spesifik melakukan kritik terhadap kitab sunan ini, hal ini tampaknya cukup beralasan karena memang disatu sisi, literatur yang membincang tentang hadis para muhaddistnya yang ditulis oleh patra ulama sangat sedikit memperbincangkan kitab sunan ad-Darimi bak dalam bentuk komentar (syarh) ataupun dalam bentuk lainnya.


[1] Umi Sumbulah, Studi Sembilan Kitab Hadis Sunni, (Malang: UIN MALIKI PRESS, 2013), h. 113-114
[2] Umi Sumbulah, Studi Sembilan Kitab Hadis Sunni,.., h. 114
[3] Umi Sumbulah, Studi Sembilan Kitab Hadis Sunni,.., h. 118
[4] Umi Sumbulah, Studi Sembilan Kitab Hadis Sunni,..., h. 119
[5] Abdul Majid Khon, Takhrij dan Metode Memahami Hadis, (Jakarta: AMZAH, 2014), h. 241
[6] Umi Sumbulah, Studi Sembilan Kitab Hadis Sunni,..., h. 119
[7] M. Ma’shum Zein, Ilmu Memahami Ulumul Hadis dan Musthalah Hadis, (Yogyakarta: PUSTAKA PESANTREN, 2014), h. 242
[8] Umi Sumbulah, Studi Sembilan Kitab Hadis Sunni,..., h. 120
[9] http://arratibi.blogspot.co.id/2009/11/sunan-ad-darimi-181-h-255-h.html
[10] Umi Sumbulah, Studi Sembilan Kitab Hadis Sunni,..., h. 121-122
[11] Abdul Majid Khon, Takhrij dan Metode Memahami Hadis,..., h. 240
[12] Umi Sumbulah, Studi Sembilan Kitab Hadis Sunni,..., h. 115

Komentar

Postingan populer dari blog ini